Jumat, 20 Maret 2015

Menabur yang Baik, Menuai yang Positif

Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada tahun 1892 di Stanford University.

Seorang mahasiswa berusia 18 tahun sedang berjuang membayar biaya kuliahnya. Dia seorang yatim piatu, dan kebingungan mencari cara untuk melunasi biaya itu. Suatu saat muncul sebuah ide cemerlang di benaknya. Dia dan seorang temannya memutuskan untuk mengadakan sebuah konser musik di kampus dengan tujuan menggalang dana demi kuliah mereka. Mereka berhasil mengontak pianis terkenal: Ignacy J. Paderewski. Manajernya meminta pembayaran sebesar $2.000 untuk pertunjukan piano yang akan ditampilkan Paderewski. Mereka pun berhasil mencapai kata sepakat.

Kedua mahasiswa itu pun mulai bekerja agar konser musik ini berjalan sukses. Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Paderewski tampil memukau di Stanford. Sayangnya, pertunjukan itu ternyata tidak begitu laris manis. Kedua mahasiswa itu hanya berhasil menjual sekitar sepertiga tiket yang disediakan. Total penjualan yang terkumpul juga hanya senilai $1.600.

Dengan perasaan kecewa, mereka berdua mendatangi Paderewski dan menjelaskan keadaan mereka. Tak lupa mereka membawa seluruh uang hasil pertunjukan, sebesar $1.600, beserta sebuah cek dengan nilai $400 untuk memenuhi perjanjian kontrak. Mereka berjanji untuk membayarkan cek itu secepat mungkin.

“Tidak,” kata Paderewski. “Saya tidak terima ini.” Lalu, cek itu dirobeknya, dan dikembalikan uang sebesar $1.600 itu sembari berkata pada kedua mahasiswa itu, “Ini uang konser kalian. Tolong kurangi dengan biaya yang sudah kalian keluarkan. Sisihkan uang yang kalian butuhkan untuk upah kalian sendiri. Dan berikan sisanya padaku.” Kedua mahasiswa itu begitu terkejut, dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Bagi Paderewski, tindakan kebaikan itu tidak seberapa. Tapi apa yang telah dilakukannya itu jelas menandakan bahwa Paderewski adalah seorang manusia yang luar biasa. Di kemudian hari, dia menjadi perdana menteri Polandia. Tak diragukan lagi, dia adalah pemimpin yang hebat. Tapi sayangnya, saat dia memerintah, negerinya porak-poranda karena dampak perang. Ada lebih dari 1,5 juta orang yang menderita kelaparan di Polandia, dan tidak ada dana tersisa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat. Paderewski tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Tapi akhirnya dia berhasil meminta bantuan pada US Food and Relief Administration (Badan Pengawas Makanan dan Bantuan Amerika Serikat).

Saat itu pemimpinnya bernama Herbert Hoover, yang di kemudian hari menjadi Presiden AS. Hoover setuju untuk membantu dan segera mengirimkan berton-ton gandum untuk memberi makan rakyat Polandia yang kelaparan. Sebuah bencana kemanusiaan besar pun berhasil dicegah. Paderewski lega sekali. Dia putuskan untuk menemui Hoover dan secara langsung berterima kasih padanya. Ketika Paderewski mulai mengucapkan terima kasih kepada Hoover atas tindakannya yang mulia, Hoover cepat-cepat menyelanya dan berkata, “Anda tak perlu berterima kasih Perdana Menteri. Anda mungkin tidak mengingat kejadian ini, tapi beberapa tahun lalu, Anda sudah menolong dua mahasiswa muda menyelesaikan kuliahnya di AS. Saya salah satunya.”

Kisah ini kembali menguatkan bahwa apa yang kita tabur dalam kehidupan sekitar kita, akan kita tuai di kemudian hari. Agar kita bisa menuai sesuatu yang baik, kita pun terlebih dulu harus menabur sesuatu yang positif. Dunia ini pada dasarnya adalah sebuah tempat yang indah, seandainya kita benar-benar tahu mana yang benar dan salah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.

Hukum Tabur Tuai Mengajarkan Banyak Hal


Di beberapa kantor instansi pemerintah, kadang terdapat cermin. Di atasnya, tertulis kalimat: “Sudah rapikah Anda hari ini?” Kalimat tersebut sepertinya sepele. Tapi, bagi yang menengok pantulan dari cermin dan menemukan dirinya kurang rapi, pertanyaan tersebut seolah-olah sedang “menyindir”.

Bukan apa-apa, kerapian—apalagi di instansi yang berhubungan dengan masyarakat—bisa mencerminkan seperti apa layanan yang diberikan instansi tersebut. Jika orang-orang di kantor tersebut tampil rapi, melayani dengan senyuman, hampir bisa dipastikan, mininal bayangan kepuasan akan muncul dari wajah para warga yang berurusan dengan kantor tersebut. Sebaliknya, jika yang melayani saja kucel, cuek, dan kadang sembari berwajah seram tanpa senyuman, kita pun akan segan dan kurang nyaman.

Dari hal kecil saja, bisa berdampak begitu besar. Apa yang tercermin di balik kaca tersebut, bisa menjadi tolok ukur, “apa” dan siapa yang ada dalam diri yang berkaca. Ini mengingatkan saya pada hukum tabur tuai . Hukum ini sebenarnya sudah menjadi pemahaman umum di mana saja. Namun, saya ingin kembali mencoba membahasnya, untuk mengingatkan kita semua, bahwa apa yang kita raih hari ini, adalah “buah” dari apa yang kita tanam.

Untuk membahas filosofi tersebut, berikut saya kutip sebuah kisah klasik :

Suatu kali, di masa Dinasti Qi di Tiongkok, ada seorang perdana menteri yang terkenal dengan kecekatan dan kerja kerasnya. Namanya Tian Ji. Suatu kali, ia menerima 100 tael emas dari salah seorang koleganya karena dianggap sudah menolongnya. Ia menolak berkali-kali. Namun, karena dipaksa berulang kali, ia menerimanya dengan berat hati.

Begitu sampai di rumah, ia memberikan emas tersebut kepada ibunya. Namun, mengetahui hal tersebut, sang ibu langsung murka. Ia mengatakan, bahwa jumlah tersebut setara dengan pendapatannya sebagai perdana menteri setelah bekerja tiga tahun. “Kamu merampok uang orang atau mendapat sogokan karena kedudukanmu?” tanya ibunya dengan nada marah.

Tian Ji tertunduk malu. Ia pun mendapat banyak nasihat dari ibunya. “Sebagai orang terpelajar, seseorang harus mengatur perilakunya dengan penuh kewaspadaan. Ia juga harus bisa menjaga nama baiknya dan tak kan pernah mengambil apa yang bukan menjadi miliknya. Seorang terpelajar juga tak boleh punya hal yang disembunyikan, sebagaimana dia tak pernah curang dan mengambil keuntungan dari orang lain. Seorang terpelajar akan menolak hal yang mencurigakan dan menolak sogokan.”

“Kamu bertanggung jawab terhadap negeri ini, maka kamu harus memberikan contoh yang baik kepada semua orang,” lanjut sang ibu. “Tapi saat ini kamu sudah menerima barang yang bukan hakmu. Kamu telah berkhianat pada amanah yang diberikan dan rakyatmu. Kamu benar-benar telah mengecewakanku..”

“Sekarang, kamu harus mengembalikan emas tersebut, dan mintalah hukuman kepada raja!” seru ibunya.

Tian Ji merasa sangat malu pada dirinya sendiri setelah mendapat teguran keras dari ibunya. Dia pun segera mengembalikan emas tersebut. Ia juga segera menghadap baginda raja untuk mengakui kesalahan yang telah diperbuat, memohon hukuman, sembari mengajukan pengunduran diri karena malu telah berbuat cela.

Mengetahui hal tersebut, sang raja memuji betapa tinggi moralitas yang diajarkan ibu kepada Tian Ji. Maka, ia pun berkata kepada seluruh pejabatnya, “Seorang ibu yang bermoral tinggi, telah melahirkan anak yang bermoral tinggi pula. Sekarang aku tak khawatir lagi bahwa di negeri ini akan terjadi penyimpangan, karena engkau punya ibu yang luar biasa. Aku mengampunimu Tian Ji, atas apa yang kau perbuat.”

Raja bahkan kemudian membuat perintah kepada seluruh negeri untuk belajar moral dari ibu Tian Ji. Sebab, ia merasa, seorang ibu yang bisa meletakkan dasar moral bagi anaknya, akan mampu menjadi contoh yang luar biasa. Sejak kejadian itu, Tian Ji makin meningkatkan standar kejujuran dan kebaikan di negerinya.

Dari kisah tersebut, kita bisa belajar, bahwa apa yang “ditanam” sang ibu pada Tian Ji menjadi “buah” kebaikan yang berlaku selamanya. Bahkan, “tanaman” itu terus berkembang, karena sang ibu menjadi contoh bagi seluruh negeri tentang bagaimana mendidik moral untuk kemajuan bangsanya.
Inilah salah satu bentuk makna, bahwa apa yang kita tanam akan kita tuai. Maka, kalau ingin mendapat banyak kebaikan, taburlah kebaikan. Jika ingin sukses, bantu jugalah orang lain untuk sukses. Jika ingin meraih kebahagiaan, berbagilah untuk memperbesar dampak kebahagiaan. Sebaliknya, jangan pula membiasakan diri menabur dan membiarkan bibit-bibit miskin mental, agar jangan berkembang sikap negatif yang banyak merugikan.

Mari, terus tanam dan pelihara moralitas dan budi pekerti yang tinggi. Jaga sikap dan tindakan agar terus disirami dengan kebaikan. Semoga, makin banyak kebaikan yang kita petik dan tumbuh subur di negeri yang kita cintai ini.

Sikap Ikhlas, Magnet Rezeki

Alkisah, ada seorang raja yang bijaksana. Rakyatnya hidup makmur sejahtera. Sang Raja punya dua orang putra yang sama-sama hebatnya. Karena itu, Sang Raja kebingungan, mana putranya yang akan diangkat jadi putra mahkota menggantikan dirinya.

Raja berharap, saat dirinya digantikan, rakyatnya tetap makmur sentosa. Maka, suatu hari, ia pun bertanya pada kedua putranya, “Wahai Putraku, aku ingin bertanya. Apa yang ingin kalian perbuat pada kerajaan ini jika menggantikanku?”

Putra pertama menjawab: “Wahai Ayah, kutahu kerajaan kita sudah sangat sejahtera. Karena itu, jika Ayah memberikan kepercayaan kepadaku, aku akan membuatnya makin kaya dan sejahtera. Kerajaan ini akan makin aku besarkan, bahkan hingga ke kerajaan tetangga.”

Sementara itu, putra keduanya berkata, “Ayah, aku tahu kerajaan ini sudah sejahtera. Karena itu, jika Ayah memercayakan kerajaan ini padaku, aku akan membuat rakyat makin sejahtera dengan menjaga tata nilai kerajaan ini agar mereka makin peduli satu sama lain. Aku berharap, bukan hanya sejahtera, semua rakyat bisa bahagia karena saling menjaga harmonisasi kehidupan di antara mereka.”

“Putraku. Kalian berdua adalah putra terbaik di kerajaan ini. Jawaban kalian berdua tentang masa depan kerajaan ini juga sama baiknya. Karena itu, aku memutuskan bahwa kalian berdua harus memerintah kerajaan ini bersama-sama. Untuk itu, aku akan membagi dua mahkota ini sebagai simbolisasi bahwa kerajaan ini akan aku bagi dua untuk kalian kembangkan sesuai dengan apa yang sudah kalian sampaikan tadi,” sebut Sang Raja sembari mencoba mematahkan mahkota yang dipakainya menjadi dua bagian dengan kapak yang sudah siap diayunkan ke simbol tertinggi kerajaan itu.

“Ayah betul. Kita bagi saja kerajaan ini jadi dua. Aku akan tunjukkan kepada ayah bahwa aku pasti bisa jadi raja yang lebih baik,” sambut putra pertama.

Namun, sebelum kapak terlanjur diayunkan, putra kedua segera berlari ke arah ayahnya dan mencegah kapak berayun. “Ayah, daripada simbol kerajaan tertinggi ini dibagi dua, saya rela tidak menjadi raja. Saya hanya ingin rakyat sejahtera. Saya khawatir, jika kerajaan ini dipecah jadi dua seperti yang hendak Ayah lakukan pada mahkota ini, yang ada bukannya sejahtera, tapi akan hancur berantakan karena bisa saja akan muncul perselisihan. Saya rela kerajaan ini diserahkan sepenuhnya pada Kakak, asal kerajaan ini tetap sejahtera.”

Raja tersenyum. “Putraku. Kamulah pemimpin sejati kerajaan ini,” sebutnya pada putra kedua. “Kamu tidak rela kerajaan ini pecah. Itu tanda bahwa kamu tidak haus akan kekuasaan. Nah, putra pertamaku. Aku tahu kamu juga hebat. Karena itu, bantu adikmu ini membangun kerajaan ini lebih sejahtera. Namun, kamu harus belajar lebih bijak, bahwa kekuasaan harus lebih digunakan untuk kebaikan.”

Putra pertama tertunduk malu. Ia pun berjanji, ia akan menjadikan nasihat ayahnya itu untuk menjadi putra yang lebih baik. Ia pun berjanji, dirinya akan menerima keputusan ayahnya dan mau membantu adiknya untuk membangun kerajaan yang lebih sejahtera.

Kisah tersebut sebenarnya menggambarkan bagaimana sikap jiwa besar, akan berbuah kebaikan yang lebih besar. Sang adik yang ikhlas melepas, demi kebaikan bersama, akhirnya justru mendapat keberkahan yang melimpah (kuasa yang diberikan ayahnya).

Demikian juga kita seharusnya dalam bersikap. Saat sedang memperjuangkan sesuatu, boleh saja kita “menuntut” ingin mendapatkan “hasil” yang seperti didamba. Namun, saat belum mendapat apa yang diinginkan, jangan berkecil hati. Justru, dengan berjiwa besar menerima hasil apapun yang diraih, kita sedang hendak “menuai” hasil yang bisa jadi akan jauh lebih besar dari yang kita sangka.

Mari, kita kembangkan sikap memiliki jiwa besar dan menjadikan “status” untuk melakukan hal-hal yang berlandaskan kebijaksanaan. Sehingga, saat kita memiliki kedudukan, saat kita berada di atas, saat kita punya kuasa, akan jauh lebih bermakna—karena kita bisa menggerakkan banyak orang untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan bersama. Dengan begitu, “rezeki” besar akan kita nikmati bersama, dalam hidup yang penuh dengan keberlimpahan dan kebahagiaan.

Kasih Yang Hangat


Alkisah

Saat berlibur ke rumah kakeknya, si cucu mengajukan pertanyaan yang telah lama mengganjal di hati.

”Kek, Nanda kan sangat sayang sama mama. Apalagi kalau mama pas baik, beliin mainan atau bolehin aku main. Tetapi, kenapa Nanda tidak bisa sayang terus ya sama mama? Kalau dilarang main saja, Nanda jadi sebal sama mama. Kalau mau sesuatu terus mama nggak beliin, Nanda bisa ngambek berhari-hari. Apalagi kalau mama marah terus mencubit atau menjewer kuping, iiiih Nanda bisa benci banget sama mama. Rasanya ingin balas memukul. Kenapa begitu ya, Kek? Tolong Kek, Nanda tidak ingin menjadi anak yang durhaka.”

Mendengar nada serius dan menyesal, kakek merasa senang dan tertawa lalu menjawab, ”Hahahaaa. Hebat, hebat! Cucu kakek ternyata sudah besar dan pintar. Cucuku, di setiap diri manusia, ada dua kekuatan yang hidup di dalamnya. Satu kekuatan baik dan satu lagi kekuatan jahat. Mereka setiap hari selalu saja berkelahi.”

”Oya? Kalau mereka berkelahi, kekuatan mana yang menang Kek?” sela si cucu penasaran.

”Kekuatan yang menang adalah kekuatan yang dipelihara, dididik, dan dilatih dengan baik.”

”Nah, apa hubungannya Kek, cerita dua kekuatan ini dengan rasa sayang dan perasaan jengkel nanda ke mama?”

”Dengar ya. Jika setiap kali perasaan nanda yang suka jengkel, marah, dan benci yang dipelihara, kamu latih dan kamu biarkan merajalela artinya Nanda memelihara dan memenangkan kekuatan jahat yang ada di dalam dirimu. Tiap kali tidak dituruti, kamu marah, tiap kali dilarang main kamu ngambek, belum lagi jika ditambah dengan perlakuan kasar dan kata-kata kasar yang tidak layak diucapkan, nah jadilah Nanda sebagai anak kurang ajar, tidak beretika, bahkan durhaka kepada orangtuanya. Apa Nanda mau, jadi anak seperti itu?”

Sambil menggeleng nanda menjawab,”Tidak, Kek. Nanda tidak mau menjadi anak seperti itu.”

Kakek melanjutkan, ”Demikian juga sebaliknya, untuk kekuatan yang baik. Agar perasaan sayang selalu tumbuh dan mampu bertahan, juga perlu dilatih, dididik, dan dipelihara.  Perlu Nanda ketahui, saat mama sedang bersikap tidak menyenangkan atau menjengkelkan, bukan berarti mama nggak sayang ke Nanda. Bahkan saat mamamu marah, semarah apa pun, perasaan sayangnya pasti lebih besar dibandingkan marahnya. Mamamu marah, melarang, nggak memberi, pasti ada alasannya.

Coba kakek tanya, kalau mama marah, biasanya kamu berbuat salah kan? Kalau Nanda berbuat salah, mama memarahi untuk menyadarkan Nanda agar menjadi benar. Biar mama marah, tetap sayang kamu kan?

Mamamu bisa saja salah. Tapi Nanda sebagai anak harus bisa memaklumi dan harus tetap menyayangi dia. Tumbuhkan terus kekuatan baik di hatimu agar berguna buat kehidupanmu nanti.”

Kebaikan dan perasaan kasih di diri setiap manusia, perlu dipelihara, dilatih, serta ditumbuhkembangkan. Jika kita mampu melestarikan sisi baik dan cinta kasih kepada setiap makhluk hidup, maka kehidupan ini pastilah akan aman tentram dan harmonis. Lalu untuk apa hidup membenci dan menyakiti orang lain?

Mari berbagi kasih, bukan hanya dengan orang-orang yang kita cintai, tetapi juga kepada setiap mereka yang layak kita kasihi. Kalau kita mampu memelihara cinta atau kasih yang hangat, maka tiada alasan apa pun untuk membenci manusia lainnya. Cinta atau kasih sayang akan membuat kehidupan di dunia ini indah, damai, dan membahagiakan.

Perbedaan Pola Pikir

Suatu kali, sebuah keluarga yang cukup harmonis mengalami ujian yang cukup sulit. Sang ayah yang merupakan pencari nafkah satu-satunya, sakit keras. Karena itulah, sang ibu dan dua anak kembar mereka yang masih berusia belasan, terpaksa harus bekerja keras. Sang ibu membuat kue, dan kedua anak mereka menjualnya sembari berangkat ke sekolah.
Dalam masa enam bulan itu, kondisi sang ayah terus memburuk. Hingga suatu hari, ia memanggil istri dan kedua anak kesayangannya. “Istriku, waktuku sepertinya sudah tak lama lagi. Terima kasih sudah mendampingiku selama ini dan mendidik kedua anak kita dengan baik. Tolong jaga mereka,” kata sang ayah. “Anakku yang sangat kusayangi. Aku juga berpesan dua hal kepada kalian. Pertama, jangan pernah menagih piutang kalian. Kedua, jangan biarkan diri kalian terbakar sinar matahari.”

Kedua anak itu saling berpandangan. Mereka pun bertanya, ”Apa maksud ucapan Ayah?” Namun belum sempat dijawab, sang ayah sudah mengembuskan napas terakhirnya. Mereka pun menangisi kepergian orang yang sangat mereka cintai, sembari memikirkan, apa maksud pesan terakhir sang ayah.

Waktu berganti, tahun-tahun pun berlalu. Kedua pemuda kembar itu telah berpisah untuk mencari jalan hidupnya masing-masing. Hingga suatu hari, ibu mereka berniat untuk mengunjungi kedua anaknya yang tinggal berjauhan.

Kali pertama, sang ibu mendatangi anak kedua. Saat itu, ia baru tahu, mengapa anak keduanya kerap mengeluh di surat yang selalu dikirimnya. Dia hidup miskin, tubuhnya kurus kering. Ia pun bertanya, “Anakku, mengapa kamu bisa mengalami kondisi seperti ini?” tanyanya.

“Ibu… saya hanya menjalankan pesan ayah.” Jawabnya. “Yaitu, jangan pernah menagih piutang dan jangan sampai terbakar matahari. Pesan pertama saya laksanakan! Setiap ada yang berutang, saya tak pernah menagihnya kecuali mereka sendiri yang membayar. Dan, itu membuat banyak orang yang berutang malah tak pernah membayar. Yang kedua, karena tak boleh terbakar sinar matahari, ketika sedang ada uang, saya gunakan semuanya untuk membeli mobil sendiri. Akibatnya, saat ini uang saya tidak pernah cukup,” sebut si anak kedua memelas.

Si ibu yang kasihan, lantas meminta si anak kedua ikut kembali tinggal bersamanya. Namun, sebelum itu, ia ingin menemui anak pertamanya. Ternyata, dia hidup sukses dan bahagia.

Apa yang membuat kondisi anak pertama sangat berbeda dengan anak kedua? Si anak pertama pun menjawab, “Ibu, saya hanya menjalankan pesan yang diberikan ayah dulu. Waktu itu, ayah meminta saya tidak boleh menagih piutang. Maka, saya pun berusaha semaksimal mungkin tidak pernah membiarkan orang berutang. Untuk setiap barang yang saya jual, saya wajibkan untuk bayar di awal. Kemudian untuk mematuhi pesan kedua, saya selalu pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang saat sudah malam. Saya pun bisa memaksimalkan waktu untuk bisa mencapai hasil hingga seperti sekarang.”

Sang ibu mengangguk-angguk perlahan. Rupanya dua anak kembar itu punya perbedaan cara pandang dalam menerima pesan sang ayah, yang belum sempat dijelaskan. Perbedaan itulah yang membuat mereka punya nasib yang berbeda.

Dalam kisah ini, sangat jelas bahwa pola pikir (positif atau negatif) akan memberi dampak yang berbeda pula. Hal yang sama bisa terjadi pada kita. Suatu kondisi dan keadaan yang menimpa (misalnya krisis) akan memberi hasil yang berbeda jika kita bisa mengubah sudut pandang menjadi lebih positif. Sebab, dengan pola pikir yang positif, kita akan mempunyai cara berpikir yang lebih luas untuk memperbaiki keadaan. Saat gagal, bisa menjadi momen untuk belajar memperbaiki apa yang salah. Saat terjatuh, bisa menjadi masa mengevaluasi diri agar mampu bangkit lagi.

Mari, kita perbaiki sudut pandang kita terhadap segala hal yang kita jumpai, dengan pola pikir yang selalu positif. Sehingga, setiap hasil apa pun yang kita dapati, dapat menjadi hal yang selalu penuh arti.

Kamis, 19 Maret 2015

Nilai Sebutir Nasi

 
Dikisahkan di sebuah kerajaan kecil, sang raja mempunyai seorang anak yang sangat dimanjakan. Di hadapan raja dan permaisuri, sikap si pangeran kecil ini baik dan menyenangkan. Tetapi di belakang mereka, sikapnya berubah total menjadi anak yang kurang ajar. Merasa sebagai putera mahkota kerajaan, dia tumbuh menjadi anak yang tidak tahu sopan santun dan tidak mau menghargai orang lain. 
 
Walau dibenci dan dijauhi, tetapi pangeran kecil ini masih punya satu-satunya sahabat seusia yang setia kepadanya, yaitu anak laki-laki dari pengasuhnya. Suatu hari, pangeran kecil meminta si bocah untuk "menemaninya makan" siang di ruang makan istana. Dalam artian, si bocah diminta menunggu dan melihat si pangeran makan dari pojok ruangan.
 
Sesaat sebelum makan, pangeran kecil terlihat seperti menundukkan kepala seolah sedang berdoa. Sejenak kemudian, sang pangeran mulai melahap segala hidangan yang tersaji di meja makan. Semua jenis makanan dicicipinya. Beberapa kali, ia hanya mencuil dan menggigit makananannya, lalu memuntahkan dan membuang sisanya di meja. Meja makan jadi berantakan dan sisa-sisa makanan berserakan di mana-mana. Sang pangeran seperti sedang mengolok-olok sahabatnya yang hanya berdiri memandanginya. Tapi bukannnya merasa terhina, si bocah kecil itu malah tersenyum-senyum sedari tadi. Pangeran kecil pun jadi tersinggung!
 
"Hai... apa yang kamu tertawakan? Dari tadi kamu tertawa-tawa melihat aku makan. Bahkan saat aku berdoa dan mengucap syukur, kamu juga tertawa."
 
Kata si bocah kecil dengan berani, "Pangeran tadi berdoa dan mengucap syukur. Tapi cara makan dan memperlakukan makanan, kok tidak sesuai? Jadi, buat apa berdoa dan bersyukur sebelum makan?"
 
"Ah... sok tahu kamu! Makananku berlimpah ruah. Aku boleh melakukan apa saja terhadap makanan itu," jawab pangeran kecil. "Ayo sekarang ikut aku ke gudang, aku akan tunjukkan berlimpahnya bahan makanan yang aku punya."
 
Maka, kedua sahabat itu pun segera pergi ke gudang bahan makanan kerajaan. Sesampai di gudang bahan makanan, ternyata ada seorang pegawai istana yang sedang menerima pajak beras dari beberapa petani. Maka, si pangeran berpura-pura menjadi raja yang bijak.
 
"Hai...rakyatku.. terima kasih ya. Bagaimana panen padi kalian?"
 
"Panen kali ini buruk sekali, Pangeran," jawab seorang petani, ketakutan. "Sawah ladang dihancurkan hama. Kami tidak tahu anak istri kami besok makan apa. Kami, hanya bertahan hidup dengan sedikit makanan. Jadi, mohon ampuni kami yang hanya mampu mempersembahkan sekantong beras ini. Tetapi beras yang kami persembahkan ini adalah beras terbaik yang kami miliki."
 
Mendengar jawaban itu, pangeran kecil tersentak dan baru tersadar. Ternyata rakyatnya sangat menderita dan terancam kelaparan, sementara dirinya malah menyia-nyiakan dan membuang-buang makanan yang begitu berharga itu. Si pangeran kecil kemudian lari meninggalkan tempat itu karena merasa malu pada diri sendiri. Dan sejak itu, perlahan-lahan tingkahnya berubah menjadi lebih sopan dan mau menghargai orang lain. Setiap kali hendak makan, ia mengingatkan dirinya sendiri, "Jangan sisakan sebutir nasi di piringmu!"
Sejak kecil, kita telah dididik untuk selalu berdoa dan mengucap syukur atas semua berkat yang diberikan Tuhan. Namun perlu diingat kembali, mengucap syukur bukan sekadar berdoa, bukan pula hanya sekadar melaksanakan formalitas. Tetapi lebih dari itu, rasa syukur kita harus disertai dengan sikap menghargai dan menghormati orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
 
Sebelum butiran nasi yang kita makan sehari-hari memuaskan dan mengenyangkan perut kita, misalnya, pikirkan betapa banyak kerja dan kegiatan yang mendahuluinya. Bila kita mampu menghargai arti sebutir nasi serta orang-orang yang menghasilkannya, maka dasar pengertian dan kebijaksanaan itu akan melahirkan sikap mental positif dalam kehidupan kita.
 
Intinya :

Doa dan syukur harus didasarkan pada perbuatan nyata dan pengertian yang benar mengenai apa yang kita lakukan. Jika setiap doa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita disertai dengan pengertian kebijakan untuk menghargai segala usaha dan jerih payah orang lain, serta tidak menyia-nyiakan berkat yang sedang kita nikmati, niscaya, mereka kelak akan tumbuh menjadi orang-orang yang luhur budi pekertinya.

Selasa, 17 Maret 2015

Cintai Apa Yang Dimiliki

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja yang sangat kaya. Akan tetapi, ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Dari hari ke hari, ia merasa hidupnya kian hampa. Repotnya, dia sendiri tak tahu apa yang menjadi penyebabnya.

Suatu pagi, ketika bangun dari tidur, Raja mendengar suara seseorang yang sedang bernyanyi. Karena penasaran, dia pun bergegas mendekati asal suara tersebut. Ternyata, suara itu berasal dari salah seorang pelayan kerajaan yang sedang membersihkan ruangan. Pelayan itu terlihat sangat menikmati hidupnya. Dengan penasaran sang Raja bertanya: “Wahai Pelayan, rahasia apa yang engkau miliki, sehingga bisa begitu bahagia?”

Pelayan itu pun menjawab, “Tuanku Raja, hamba tidak memiliki apa-apa, kecuali keluarga yang bahagia dan penuh syukur.”
 
Karena merasa penasaran dengan penuturan si Pelayan, sang Raja pun memanggil penasihat kerajaan yang bijaksana untuk dimintai saran. Kata sang Penasihat, “Yang Mulia, saya yakin bahwa si pelayan itu belum masuk Koin 99! Untuk menjelaskannya, mohon beri hamba koin emas sejumlah 99. Nanti, koin emas ini akan  hamba masukkan ke dalam tas, dan hamba letakkan di depan pintu rumah si pelayan.”

Singkat cerita, tas yang sudah berisi koin 99 itu kemudian diletakkan di depan rumah si pelayan. Sang Raja sendiri dengan perasaan ingin tahu, ikut menantikan bagaimana kira-kira reaksi si Pelayan.
 
Pada saat si pelayan membuka pintu rumah, dia terkejut dan berteriak kegirangan karena menemukan tas besar berisi kepingan uang emas. Dengan tak sabar, si Pelayan pun mulai menghitungnya. Ternyata, hanya ada 99 keping uang emas—yang berarti tidak genap 100 keping! Lalu, pelayan itu pun mencarinya ke seluruh penjuru istana. Tetapi sia-sia saja, karena ia tetap tidak menemukannya. Jadi, dia bertekad akan bekerja lebih keras supaya dapat membeli 1 lagi koin uang emas sehingga jumlah uang emasnya bisa genap menjadi 100.

Karena begitu fokus akan ambisi dan pekerjaannya, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, si pelayan tak lagi bernyanyi dan bersiul gembira. Wajahnya terlihat begitu serius dan murung. Terlihat perubahan yang sangat drastis dalam diri si pelayan.
 
Sang Penasihat pun menjelaskan hal ini kepada raja, “Tuanku, itu artinya, Pelayan itu telah bergabung dengan Koin 99! Yaitu mereka yang memiliki banyak hal, tetapi merasa tidak bahagia. Mereka fokus bekerja untuk mengejar satu koin lagi supaya genap menjadi 100. Celakanya, dalam mengejar 1 koin ini, mereka lupa pada hal-hal lainnya. Mereka kekurangan waktu tidur, kekurangan waktu untuk keluarga, untuk lingkungan, serta kekuarangan waktu untuk kebahagiaan mereka sendiri. Terkadang, dalam mengejar satu koin emas ini, mereka rela mencelakai orang lain. Itulah yang hamba maksud dengan Koin 99, Yang Mulia.”

“Wahai engkau Penasehat yang bijak, sekarang aku memahami maksudmu,” jawab sang raja. “Mulai sekarang kuputuskan, untuk menghargai setiap apapun yang aku miliki.”

Sebagaimana si Pelayan dalam cerita tadi, tanpa kita sadari, kita pun sering terfokus hanya pada ‘1 koin’ yang kurang, tanpa pernah bersyukur pada ‘99 koin’ yang sudah kita punya.
 
Padahal kita semua tahu, ada hal-hal yang tak ternilai harganya. Misalnya kesehatan, teman, sanak-saudara, bahkan keluarga. Bahkan kalau toh seandainya ada salah satu dari hal-hal tersebut tidak kita miliki, setidaknya kita masih memiliki umur dan waktu.

Mari teman-teman, mengembangkan dan menjalankan semua aktivitas dengan modal rasa syukur dan bahagia. Sehingga di sepanjang jalan, kita bisa selalu ringan tangan berbagi kebahagiaan kepada sesama, terutama keluarga.

Ulat dan Pohon Mangga


Suatu kali, seekor ulat tampak kelaparan. Di depannya, tampak pohon mangga yang sedang menghijau dengan dedaunan segar. Ulat yang sedang kelaparan pun menghampiri pohon mangga tersebut, lalu segera memanjat untuk memakan dedaunan itu.

“Hei ulat, sedang apa kamu?” tegur pohon mangga.

Ulat, saking laparnya, lupa meminta izin kepada pohon mangga. “Maaf, aku ke sini hanya ingin memakan sedikit dari bagian daunmu. Aku sangat lapar,” jawab ulat memelas.

“Asal kamu tahu saja ya. Di sini tanahnya tandus. Daun-daun yang ada di batangku ini tidak banyak. Kalau kamu makan di sini, lalu daunku banyak yang mati, bagaimana aku akan hidup kelak?” tolak pohon mangga dengan halus. “Dan, kalau sampai daun-daunku ini habis, maka aku tak akan bisa berbunga . Aku hanya akan jadi pohon tua tanpa bisa berbuah. Pemilik pohon akan menebangku.”

Ulat mengangguk, tanda mengerti kegelisahan pohon mangga. “Baiklah kalau kamu takut. Aku akan pergi, meskipun sebenarnya aku sudah tak kuat lagi. Aku benar-benar lapar dan butuh makan,” jawab ulat dengan nada berat. Terseok-seok, ia pun hendak pergi mencari makanan lain.

Melihat itu, pohon mangga merasa tidak tega. Ia pun akhirnya memanggil ulat kembali. “Wahai ulat, kalau kamu pergi dengan keadaan itu, kamu bisa mati. Aku pun tidak tega. Maka, makanlah daunku. Tapi, pastikan jangan sampai membuat aku mati. Makan seperlumu saja.”

Ulat pun sangat berterima kasih kepada pohon mangga karena ia bisa kembali makan. “Terima kasih, pohon mangga yang baik. Aku tidak akan melupakan jasamu. Aku berdoa, semoga hujan segera turun, sehingga membuat tanah kembali subur dan daunmu lebih lebat lagi,” ucap ulat dengan tulus.

Rupanya, doa si ulat dikabulkan. Tidak beberapa lama, mendung tampak memayungi bumi. Matahari yang tadi sangat terik, pelan-pelan tertutupi awan yang siap menumpahkan hujan. Angin yang bertiup pun segera membawa hawa sejuk yang diiringi rintik hujan. Pohon mangga bersorak kegirangan. Ia kembali mendapat kesejukan sehingga tanah tandus di sekitarnya kini menyediakan air yang berlimpah untuk membuatnya subur kembali.


Beberapa waktu kemudian, tampak pohon mangga makin menghijau dan rimbun daunnya. Tetapi, hingga beberapa lama, pohon mangga itu rupanya belum berbuah juga.

Suatu kali, ulat yang sudah cukup lama hidup dengan memakan daun pohon mangga, berubah menjadi kepompong. Pada saatnya kemudian, ulat menjadi kupu-kupu indah.

“Wahai pohon mangga temanku yang baik, kali ini tiba giliranku membantumu. Aku akan terbang mencari saripati mangga lain untuk aku bawa kemari. Semoga bisa membuatmu berbuah lebat, seperti keinginanmu.”

Begitulah, mereka saling membantu. Serbuk saripati mangga yang dibawa kupu-kupu setiap kali terbang, menjadikan pohon mangga memiliki buah ranum dan manis. Sang pemilik pohon itu pun makin menyayangi pohon mangga. Ia rutin memberikan pupuk tanaman terbaik. Kini, pohon mangga yang dulu tumbuh seadanya dan bahkan nyaris mati, bisa tumbuh subur berkat kebaikannya membantu sang ulat.

Keindahan saling tolong-menolong, tergambar jelas dalam kisah di atas. Perbuatan baik memang pasti akan mendapat balasan kebaikan.

Demikian juga dalam kehidupan di dunia ini. Kita memang tidak pernah tahu, tidak pernah mengerti, mengenai timbal balik suatu kebaikan. Tapi, hampir selalu pasti, kebaikan itu akan membawa lebih banyak keberkahan. Kadang, datangnya pun tak kita duga-duga. Kadang di saat kesulitan, tiba-tiba ada saja yang membantu kita. Kadang, apa yang kita sebut sebagai “kebetulan” sebenarnya merupakan “buah” dari kebaikan yang dulu pernah kita lakukan.

Di sinilah, konteks keikhlasan dan ketulusan dalam membantu orang lain akan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Mungkin tidak selalu “dibalas” secepat yang kita harapkan. Tetapi saat kita “melupakan”, bisa jadi berbagai kebaikan malah datang tanpa kita harapkan. Itulah Hukum Tuhan yang universal.

Karena itu, terus bawa dan tularkan kebaikan ke mana pun dan di mana pun kita berada. Mari berbagi dengan apa yang kita bisa. Baik tenaga, pikiran, waktu, atau materi. Semua itu akan menjadi “modal” sekaligus “tabungan” yang akan mengantarkan kita pada hidup penuh keberuntungan. Hidup penuh kelimpahan.

Anjing dan Sang Menteri

Alkisah, ada seorang raja yang memiliki 10 anjing ganas untuk menghukum karyawan istana yang bersalah sampai menterinya. Jika sang Raja menilai orangnya bersalah dan tidak berkenan atas kesalahan tersebut, mereka akan dilempar ke kandang anjing agar dicabik dan dimangsa oleh anjing-anjing ganas tersebut.

Suatu hari, seorang menteri membuat sebuah keputusan yang dianggap salah sehingga membuat Raja murka.  “Menteri! Atas kesalahan yang telah kamu perbuat, rajamu memerintahkan hukuman segera dijalankan. Besok, giliranmu masuk ke kandang anjing,” perintah Raja.

Si Menteri dengan wajah pucat berkata, “Paduka, hamba telah mengabdi kepada Paduka dan pekerjaan ini selama 15 tahun. Atas pengabdian hamba selama ini, hamba mohon waktu penundaan hukuman selama 30 hari saja. Setelah 30 hari, hamba akan menghadap dan siap menjalani hukuman.”  Sang Raja, setelah berpikir sejenak, akhirnya mengabulkan permintaan menterinya itu.

Dari sana, si menteri bergegas menuju kandang anjing dan meminta izin kepada penjaga untuk membantu mengurus anjing-anjingnya selama 30 hari. Walaupun merasa heran, tetapi karena menteri senior yang meminta, dia pun mengizinkannya. Sejak saat itu, si menteri membantu memelihara anjing-anjing, memberi makan, memandikan, membersihkan kandang, dan memberi perhatian dengan sebaik-baiknya. Setelah 30 hari, anjing-anjing itu pun menjadi jinak kepada si menteri.

Tibalah waktu eksekusi. Disaksikan Raja, dimasukkanlah menteri itu ke kandang anjing. Akan tetapi, betapa terkejutnya raja, saat melihat anjing-anjing ganasnya itu justru jinak padanya. Apa yang terjadi? Si menteri pun menjawab merendah, “Paduka, hamba telah ‘mengabdi’ pada anjing-anjing ini selama 30 hari dan mereka tidak melupakan jasaku. Tapi paduka… hamba telah mengabdi kepada kerajaan ini selama 15 tahun, dan paduka tega menjatuhkan hukuman ini pada saya. Mohon ampuni kesalahan saya.” Mendengar perkataan menterinya, baginda raja tersentak kesadarannya. Dengan rasa haru, akhirnya si menteri pun dibebaskan dari hukuman.

Dalam perjalanan kehidupan ini, sesungguhnya tidak terhitung jasa kebaikan yang telah kita terima. Baik dari orang yang tidak kita kenal, maupun terlebih dari orang-orang terdekat kita. Selayaknya kita bisa menghargai dan membalas kebaikan itu. Jangan hanya karena kejadian sesaat yang tidak mengenakkan, kita begitu mudah menghapus persahabatan atau persaudaraan yang telah terukir bertahun-tahun lamanya.

Mari, Jadikan setiap kebaikan membuahkan kebaikan, sehingga setiap insan di muka bumi ini hidup dengan rasa aman, damai, dan membahagiakan.