Matahari di padang pasir terasa membakar. Hanya sesekali angin
bertiup, menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Membuat seorang
pemuda kerepotan mengarungi samudera pasir yang membentang luas. Namun,
hatinya sedikit tenang. Unta yang di tungganginya masih muda dan kuat.
Ia berharap kendaraannya ini sanggup untuk menempuh perjalanan yang
jauh. Karena masih ada separuh perjalanan lagi yang harus ditempuh Sang
Pemuda.
“Mudah - mudahan aku selamat sampai Makkah," katanya penuh harap. "Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini aku rindukan.”
Panggilan rukun Islam kelima itulah yang telah membulatkan tekadnya mengarungi padang pasir yang terik.
Di tengah perjalanan, tiba - tiba Pemuda itu menatap tajam ke arah seseorang yang tengah berjalan sendirian di padang pasir.
'Kenapa orang itu berjalan sendiri di tempat seperti ini ?' tanya pemuda itu dalam hati. Sungguh berbahaya.
Pemuda tersebut menghentikan untanya di dekat orang itu. Ternyata, ia
adalah seorang lelaki tua. Berjalan terseok - seok di bawah terik
matahari. Lalu, Pemuda itu segera turun dari kendaraannya dan
menghampiri.
“Wahai Bapak Tua, Bapak mau pergi ke mana ?” tanyanya ingin tahu.
“In syaa Allah, aku akan ke Baitullah,” jawab orang tua itu dengan tenang.
“Benarkah ?!” Pemuda itu terperanjat. Apa orang tua itu sudah tidak waras ? Ke Baitullah dengan berjalan kaki ?
“Betul Nak, aku akan melaksanakan ibadah haji,” kata orang tua itu meyakinkan.
“Maa sya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau
Bapak tersesat atau mati kelaparan ? Lagi pula, semua orang yang kesana
harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau
berjalan kaki seperti Bapak, kapan Bapak bisa sampai ke sana ?” Pemuda
itu tercenung, merasa takjub dengan Bapak Tua yang ditemuinya.
Ia
yang menunggang unta dan membawa perbekalan saja, masih merasa khawatir
selama dalam perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya. Siapapun tak
akan sanggup menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Apa ia
tidak salah bicara ? Atau memang orang tua itu sudah terganggu
ingatannya ?
“Aku juga berkendaraan,” kata Bapak Tua itu mengejutkan.
Si Pemuda yakin kalau dari kejauhan tadi, ia melihat orang tua itu
berjalan sendirian tanpa kendaraan apa pun. Tapi, Bapak Tua itu malah
mengatakan dirinya memakai kendaraan.
Orang ini benar-benar sudah
tidak waras. Ia merasa memakai kendaraan, padahal aku lihat ia berjalan
kaki ... pikir si Pemuda geli.
“Apa Bapak yakin kalau Bapak memakai kendaraan ?” tanya Sang Pemuda itu menahan senyumnya.
“Kau tidak melihat kendaraanku ?” orang tua itu malah mengajukan
pertanyaan yang membingungkan. Si Pemuda, kini tak dapat lagi
menyembunyikan kegeliannya.
“Kalau begitu, apa kendaraan yang Bapak pakai ?” tanyanya sambil tersenyum.
Orang tua itu termenung beberapa saat. Pandangannya menyapu padang
pasir yang luas. Dengan sabar, si Pemuda menunggu jawaban yang akan
keluar dari mulut orang tua itu. Akankah ia mampu menjawab pertanyaan
tadi ?
“Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar,
kugunakan kendaraan bernama Syukur. Jika aku melewati jalan yang sulit
dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama Sabar,” jawab orang tua itu
tenang.
Si Pemuda ternganga dan tak berkedip mendengar kata-kata
orang tua itu. Tak sabar, pemuda itu ingin segera mendengar kalimat
selanjutnya dari lelaki tua tersebut.
“Jika takdir menimpa dan
aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan Ridha. Kalau aku
tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan Tawakkal. Itulah
kendaraanku menuju Baitullah,” kata Bapak Tua itu melanjutkan.
Mendengar kata-kata tersebut, si Pemuda merasa terpesona. Seolah melihat
untaian mutiara yang memancar indah. Menyejukkan hati yang sedang
gelisah, cemas, dan gundah. Perkataan orang tua itu amat meresap ke
dalam jiwa anak muda tersebut.
“Maukah Bapak naik kendaraanku ?
Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama,” ajak si Pemuda dengan
sopan. Ia berharap akan mendengarkan untaian-untaian kalimat mutiara
yang menyejukkan jiwa dari orang tua itu.
“Terima kasih Nak,
Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh
menyia-nyiakannya,” sahut orang tua itu dengan bijak, seraya melanjutkan
perjalanannya.
Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya.
Untuk menempuh perjalanan kehidupan yang kita lalui ini. Bukan mobil
mewah yang kita butuhkan sebagai kendaraan kita. Bukan pula harta
melimpah yang kita butuhkan untuk bekal mengarungi kehidupan ini.
Cukup hati yang lapang, yang dapat menampung segala kemungkinan
keadaan. Menyediakan bahan bakar Syukur, Sabar, Ridha dan Tawakkal.
Hidup akan terasa lebih indah jika merasa bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar